AN OLD STORY


Pak tua itu iri pada orang yang masih bisa datang ke kota ini dalam harapan.
Kota ini berubah terlalu cepat untuk ia pahami.
Jalan ini sudah jauh berbeda.
Matahari sore akan memanggang siapa saja yang berani menyusurinya.
Kanopi pepohonan, dua gelas cappuccino. 
Untuknya, dan untuk mengenang sang istri.
Semua yang ia kenal akan menghilang pada waktunya.
Ia tahu ia tidak berhak merasa getir dan menyumpahi berjalannya waktu.

"Kamu tau? Aku suka manis, asam, atau asin?"
"Manis tentu saja, lihat dirimu"

Tiap jalan menuju kota memiliki cerita yang bersinggungan dengan memori mereka maisng-masing dan mereka mengenangnya dalam senyap.

"Siapa juga yang membangunkan pecandu dengan senyuman."

Pak tua menatap kursi kosong namun dalam bayangnya ada sosok cantik yang sedang menatap dalam pada mata kisut itu. Mereka semua akan pulang dengan rasa kecewa, melubangi hari-hari tua dengan obrolan ala anak muda. Namun, belakangan ia sadar, suara-suara tersebut menyembunyikan serumpun kisah yang bila tersingkap justru membuatnya sesenggukan.

"Bawa aku agak jauh"
"Aku ingin melihat kota"

Menyeberangi rel kereta bertikai dengan sepeda motor yang keras kepala, dan adu lari dengan angkot yang beringas. Ia tersenyum menggelengkan kepala, membalas anekdot dengan selorohan asal. Mereka akan berpacaran seperti anak sekolah yang kasmaran.
Pak tua ingat dia selalu pergi menghabiskan akhir pekan dengan pujaan.
Pulang dengan permen kapan di tangan.

"Hebat ya?"
Pak tua bergumam setelah lepas dari kenangannya.
"Kita diajarkan sejak kecil bahwa kematian itu pasti. Kita tak pernah diajarkan bahwa kekecewaan juga pasti."

Fantasi mengenai masa-masa muda yang telah lama lewat. 
Apa pula yang hendak ia wariskan dalam cerita bodoh seperti itu? Rute jalan tikus keliling Jakarta? Lokasi kaki lima paling menggugah selera?
Kembali pada gelas cappuccino yang ada di teras depan. Sudah dingin.
Pak tua terentak dari lamunannya. Tak terasa matanya sudah dihujani air mata.
Perih bak orang yang memotong bawang merah.
Sungguh pedih.

"Maaf"

Suara pak tua getir, penuh sesal, lelaki itu rapuh mengenang setiap memori bersama istrinya. Bagaimana bisa?

Istrinya terlihat tenang, lebih mirip orang mengantuk daripada seseorang yang tengah berjabat tangan dengan maut.

Namun, jemarinya sudah berhenti menggigil dan zikir telah reda dari bibir manisnya.
Ia tidak berkeringat lagi, napasnya sudah tidak kaku lagi, bahkan kulitnya yang keriput kembali kencang dan bercahaya.

Pak tua terdiam. Baru kali ini, ia melihat seseorang meninggalkan dunia dari jarak sedekat ini.
Ia dihantam sebuah kenyataan. Bagaimana kematian dapat datang begitu cepat, lihai, dan jinak.
Perlahan, ia membelai rambut istrinya dan mengecup keningnya. 
Sudah lama ia tidak melihat istrinya secantik ini.

"Sayang" Ucap pak tua itu, seraya menepuk bahu istrinya perlahan.
"Kamu sudah mau berangkat?'
Istrinya mengangguk, matanya terpejam sepenuhnya.
"Aku sayang kamu" ucap pak tua itu.
Dan istrinya tetap memanggil namaNya, seolah permisi.
"Aku sayang kamu. Kamu dengar? Aku sayang kamu."
Dan istrinya tetap memanggil namaNya.
"Maafkan aku."
Dan istrinya tetap memanggil namaNya.
"Aku menyayangimu"
Dan istrinya tetap memanggil namaNya.
"Iya, sayang" ucap pak tua, akhirnya. Ia menghela napas dan membimbing istrinya menuju maut.

Ceritanya aku sudahi di sini saja.
Semua kenangan manis bersama istriku, akan kusimpan erat dalam lumbung rindu. 
Jika aku pergi aku akan menemuinya segera, menggenggam tangan hangat itu.



If you understand the story you are really a genius one!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JADILAH BESAR BESTARI

MONA LISA SMILE

Hujan di Jakarta: Cerita tentang dunia-nya